Sebuah Manifesto Ecomodernist - Bahasa Indonesia
-
-
Share
-
Share via Twitter -
Share via Facebook -
Share via Email
-
Kian hari, semakin tepat untuk mengatakan Bumi sebagai planetnya manusia. Manusia terbuat dari Bumi, dan Bumi dibuat ulang oleh tangan manusia. Banyak ilmuwan Bumi mengekspresikan isu ini dengan pernyataan bahwa bumi kini memasuki sebuah era geologi baru: Anthropocene, Era Manusia.
Sebagai akademisi, ilmuwan, pelaku kampanye, dan warga negara, kami menulis dengan keyakinan bahwa pengetahuan dan teknologi, jika diaplikasikan dengan bijak, akan membuka jalan bagi terwujudnya Anthropocene yang baik, bahkan hebat. Anthropocene yang baik menuntut manusia untuk menggunakan kekuatan sosial, ekonomi, dan teknologi yang tengah berkembang untuk membuat hidup lebih baik bagi sesama manusia, menstabilkan iklim, dan melindungi alam.
Dalam manifesto ini, kami menegaskan satu idealisme lingkungan yang sudah berdiri lama, bahwa umat manusia harus menyusutkan dampak kehidupannya terhadap lingkungan agar menciptakan ruang lebih bagi alam, sementara kami menolak idealisme lain, bahwa umat manusia harus harmonis dengan alam untuk mencegah keruntuhan ekonomi dan ekologi.
Kedua idealisme tersebut tak lagi bisa direkonsiliasi. Sistem alam takkan bisa, sesuai hukumnya, diproteksi atau ditingkatkan dengan ekspansi ketergantungan umat manusia pada alam untuk keberlangsungan dan kesejahteraan hidup.
Anthropocene yang baik menuntut manusia untuk menggunakan kekuatan sosial, ekonomi, dan teknologi yang tengah berkembang untuk membuat hidup lebih baik bagi sesama manusia, menstabilkan iklim, dan melindungi alam.
Meningkatkan banyak aktivitas manusia —khususnya pertanian, ekstraksi energi, perhutanan, dan permukiman— agar menggunakan lebih sedikit lahan dan lebih sedikit mencampuri alam adalah kunci untuk memisahkan perkembangan manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Proses sosial ekonomi dan teknologi tersebut sentral untuk modernisasi ekonomi dan proteksi lingkungan. Bersama-sama, proses tersebut memungkinkan manusia untuk mengatasi perubahan iklim, menyayangi alam, dan mengentaskan kemiskinan global.
Meski menulis secara terpisah, pandangan kami semakin didiskusikan secara utuh. Kami menamakan diri ecopragmatists dan ecomodernists. Kami menawarkan pernyataan ini untuk menegaskan dan menjelaskan pandangan kami dan untuk mendeskripsikan visi kami dalam menempatkan kekuatan umat manusia yang luar biasa untuk menciptakan Anthropocene yang baik.
1.
Umat manusia sudah berkembang selama dua abad terakhir. Rerata angka harapan hidup naik dari 30 ke 70 tahun, berujung pada populasi besar dan berkembang yang mampu hidup dalam pelbagai lingkungan berbeda. Umat manusia telah membuat kemajuan luar biasa dalam mengurangi insiden dan dampak penyakit menular, dan menjadi lebih tahan terhadap cuaca ekstrem dan bencana alam lainnya.
Berbagai teknologi yang diciptakan manusia, dari teknologi yang membuat agrikultur mampu mengganti perburuan dan pengumpulan, hingga teknologi yang mendorong globalisasi ekonomi masa kini, telah membuat manusia kurang bergantung terhadap sejumlah ekosistem yang pernah menyediakan satu-satunya sumber keberlangsungan hidup, bahkan ekosistem yang sama tersebut seringkali ditinggalkan dengan kondisi cukup rusak.
Kekerasan dalam berbagai bentuk seudah menurun secara signifikan dan barangkali mencapai tingkat terendah dalam level per kapita yang pernah dialami spesies manusia, tanpa mengesampingkan horor abad ke-20 dan terorisme masa kini. Secara global, manusia telah berpindah dari pemerintahan otokratis menuju demokrasi liberal berciri hukum dan meningkatnya kebebasan.
Kebebasan personal, ekonomi, dan politik tersebar di seantero dunia dan kini diterima sebagai nilai universal. Modernisasi membebaskan wanita dari peran tradisional, meningkatkan kontrol mereka atas kesuburan. Secara historis, sejumlah besar manusia —baik dalam prosentase dan periode absolut— telah bebas dari rasa tidak aman, kemelaratan, dan perbudakan.
Di waktu yang sama, perkembangan manusia telah menyengsarakan lingkungan alam nonmanusia dan kehidupan liar. Manusia menggunakan sekitar setengah lahan bebas es di planet ini, kebanyakan untuk ladang rumput, pertanian, dan produksi perhutanan. Dari lahan yang dahulu diselimuti hutan, 20 persen sudah dikonversi menjadi lahan yang digunakan manusia. Populasi banyak mamalia, amfibi, dan burung sudah menurun hingga lebih dari 50 persen dalam 40 tahun terakhir. Lebih dari 100 spesies dari grup tersebut punah pada abad ke-20, dan sekitar 785 sejak tahun 1500. Sembari kami menulis, hanya empat badak putih utara yang dikonfirmasi eksis.
Mengingat manusia sangat bergantung pada biosfer, bagaimana mungkin manusia melakukan kerusakan yang begitu besar pada sistem alam tanpa membahayakan diri sendiri?
Peran yang dimainkan teknologi dalam mengurangi ketergantungan umat manusia pada alam menjelaskan paradoks tersebut. Berbagai teknologi yang diciptakan manusia, dari teknologi yang membuat agrikultur mampu mengganti perburuan dan pengumpulan, hingga teknologi yang mendorong globalisasi ekonomi masa kini, telah membuat manusia kurang bergantung terhadap sejumlah ekosistem yang pernah menyediakan satu-satunya sumber keberlangsungan hidup, bahkan ekosistem yang sama tersebut seringkali ditinggalkan dengan kondisi cukup rusak.
Meski pernyataan fundamental tentang “batas untuk berkembang” sering terlontar sejak 1970-an, masih sangat sedikit bukti bahwa populasi manusia dan ekspansi ekonomi akan melampaui kapasitas menumbuhkan pangan atau mengusahakan sumber daya genting di masa mendatang.
Hingga mencapai tingkat di mana ada batasan fisik pasti terkait konsumsi manusia, batas tersebut sebatas teori dan tak relevan secara fungsional. Jumlah radiasi solar yang menghantam Bumi, misalnya, akhirnya terbatas namun tak merepresentasikan kendala bagi usaha manusia. Peradaban manusia dapat berkembang selama berabad-abad dan beribu-ribu tahun dari energi yang dihasilkan uranium tertutup atau siklus bahan bakar thorium, atau dari fusi hidrogen-deuterium. Mengingat melimpahnya lahan dan energi tak terbatas, substitusi bagi material masukan lain untuk kemaslahatan manusia dapat ditemukan dengan mudah jika masukan tersebut menjadi langka atau mahal.
Bagaimana pun, masih tersisa ancaman lingkungan serius dalam jangka panjang terhadap kesejahteraan manusia, seperti perubahan iklim antropogenik, deplesi ozon stratosfer, dan pengasaman lautan. Seraya risiko-risiko itu sulit diukur, buktinya jelas bahwa kini risiko tersebut mampu menyebabkan risiko signifikan atas dampak malapetaka pada masyarakat dan ekosistem. Bahkan bertahap, hasil nonmalapetaka yang diasosiasikan dengan ancaman tersebut sangat mungkin berujung pada beban manusia dan ekonomi yang signifikan dan juga kerugian ekologi.
Banyak populasi dunia masih menderita akibat risiko kesehatan lingkungan lokal yang lebih mendesak. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan terus berujung pada kematian prematur dan penyakit pada jutaan orang setiap tahunnya.[i]Polusi air dan penyakit yang dibawa air akibat polusi dan degradasi daerah aliran sungai juga menyebabkan penderitaan yang sama.
2.
Bahkan ketika dampak manusia terhadap lingkungan masih terus berkembang secara agregat, serangkaian tren jangka panjang kini mendorong pemisahan signifikan atas kesejahteraan manusia dengan dampak terhadap lingkungan.
Menilik tren masa kini, sangat mungkin jika besarnya populasi manusia akan memuncak abad ini dan mulai berkurang.
Pemisahan terjadi baik dalam term absolut maupun term relatif. Pemisahan relatif berarti dampak manusia terhadap lingkungan meningkat dalam laju yang lebih lambat dibanding perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Dus, untuk setiap unit dari hasil ekonomi, lebih sedikit dampaknya terhadap lingkungan (misalnya, deforestasi, kepunahan binatang, polusi). Dampak secara keseluruhan bisa saja meningkat, hanya dalam laju yang lebih lambat. Pemisahan absolut terjadi saat dampak manusia terhadap lingkungan secara keseluruhan —dampak secara agregat— memuncak dan mulai menurun, meski saat perekonomian terus tumbuh.
Pemisahan bisa didorong baik oleh tren teknologi maupun demografi dan biasanya terjadi akibat kombinasi keduanya.
Laju pertumbuhan populasi manusia telah mencapai puncak. Tingkat populasi masa kini adalah satu persen per tahun, menurun dari poin tinggi sebesar 2.1 persen pada 1970-an. Tingkat kesuburan pada negara-negara berisi lebih dari separuh populasi global kini di bawah level penggantian. Pertumbuhan populasi kini terutama didorong masa hidup yang lebih lama dan kematian bayi lebih rendah. Menilik tren masa kini, sangat mungkin jika besarnya populasi manusia akan memuncak abad ini dan mulai berkurang.
Tren dalam populasi sangat berhubungan erat dengan dinamika ekonomi dan demografi lainnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, lebih dari separuh populasi global hidup di kota. Pada 2050, 70 persen diperkirakan tinggal di kota, angka yang bisa meningkat hingga 80 persen atau lebih di penghujung abad. Kota-kota ditandai dengan populasi padat dan tingkat kesuburan rendah.
Kota hanyalah satu hingga tiga persen permukaan Bumi, namun menjadi rumah bagi hampir empat miliar manusia.
Kota hanyalah satu hingga tiga persen permukaan Bumi, namun menjadi rumah bagi hampir empat miliar manusia. Dengan demikian, kota yang menjadi simbol pemisahan umat manusia dengan alam, berkemampuan jauh lebih baik dibanding perekonomian pedesaan dalam efisiensi penyediaan kebutuhan materi sembari mengurangi dampak lingkungan.
Pertumbuhan kota-kota yang sejalan dengan keuntungan ekonomi dan ekologi tak bisa dipisahkan dari perbaikan dalam produktivitas agrikultur. Saat agrikultur menerapkan lebih banyak lahan dan efisiensi pekerja, populasi pedesaan telah meninggalkan dusun untuk kota. Sekitar setengah dari populasi Amerika Serikat bekerja di ladang pada 1880. Kini, kurang dari 2 persen masih melakoni pekerjaan tersebut.
Seraya kehidupan manusia dibebaskan dari pekerjaan berat agrikultur, sejumlah besar sumber daya manusia bebas untuk memilih usaha lain. Kota-kota, seperti yang dikenal manusia saat ini, tidak bisa eksis tanpa perubahan radikal dalam pertanian. Sebaliknya, modernisasi takkan terjadi di kehidupan ekonomi agraria.
Perbaikan ini telah berujung pada tak hanya kebutuhan pekerja per unit agrikultur yang lebih sedikit, tetapi juga kebutuhan lahan yang lebih sedikit. Tren ini tidaklah baru: kenaikan hasil panen telah beribu tahun mengurangi banyaknya lahan yang dibutuhkan untuk menyediakan pangan bagi rerata orang. Rerata per kapita penggunaan lahan masa kini sangat rendah dibandingkan 5,000 tahun lalu, terlepas dari fakta bahwa orang modern menikmati pola makan yang lebih kaya. Berkat perbaikan teknologi pada agrikultur, selama setengah abad sejak pertengahan 1960-an, jumlah lahan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan tanaman dan memberi makan binatang bagi rerata orang menurun hingga setengahnya.
Intensifikasi agrikultur, sejalan dengan ditinggalkannya penggunaan kayu sebagai bahan bakar, memungkinkan banyak wilayah di dunia untuk mengalami reboisasi secara utuh. Sekitar 80 persen dari New England kini hutan, dibandingkan dengan angka 50 persen pada akhir abad ke-19. Selama 20 tahun terakhir, jumlah lahan yang didedikasikan untuk hutan produksi di seluruh dunia menurun 50 juta hektar, sebuah area sebesar Prancis. “Transisi hutan” dari deforestasi menuju reforestasi tampaknya menjadi fitur pembangunan di mana transisi demografi mengurangi angka kelahiran dan menurunkan angka kemiskinan.
Penggunaan manusia atas sumber daya lainnya juga memuncak. Jumlah air yang dibutuhkan untuk pola makan rerata berkurang hampir 25 persen selama setengah abad terakhir. Polusi nitrogen terus menyebabkan eutrofikasi dan zona mati dalam jumlah besar di berbagai wilayah seperti Teluk Meksiko. Meski jumlah total polusi nitrogen terus meningkat, jumlah yang digunakan per unit produksi telah menurun secara signifikan di negara-negara maju.
Ditelaah bersama-sama, tren ini berarti jumlah dampak manusia terhadap lingkungan, termasuk perubahan peruntukan lahan, eksploitasi berlebihan, dan polusi, bisa memuncak dan menurun pada abad ini. Dengan mengerti dan mempromosikan proses yang muncul ini, manusia memiliki kesempatan untuk meliarkan dan menghijaukan kembali Bumi —bahkan ketika negara-negara berkembang mencapai standar hidup modern dan kemiskinan materi berakhir.
Memang, bertentangan dengan kecemasan yang sering dilontarkan terkait pertumbuhan tak terbatas bertubrukan dengan planet yang terbatas, permintaan untuk banyak barang materi dapat terpenuhi sejalan dengan masyarakat yang bertambah sejahtera. Konsumsi daging, misalnya, telah memuncak di berbagai bangsa makmur dan telah bergeser dari daging sapi ke sumber protein yang menggunakan lebih sedikit lahan.
Sejalan dengan permintaan atas barang materi yang terpenuhi, perekonomian maju memandang tinggi level pengeluaran yang berkaitan dengan layanan material yang lebih sedikit, yang menyebabkan naiknya pembagian aktivitas ekonomi. Dinamika ini dapat lebih terlihat dalam perkembangan ekonomi masa kini, yang memetik keuntungan dari keterlambatan adopsi teknologi dengan sumber daya efisien.
Ditelaah bersama-sama, tren ini berarti jumlah dampak manusia terhadap lingkungan, termasuk perubahan peruntukan lahan, eksploitasi berlebihan, dan polusi, bisa memuncak dan menurun pada abad ini. Dengan mengerti dan mempromosikan proses yang muncul ini, manusia memiliki kesempatan untuk meliarkan dan menghijaukan kembali Bumi —bahkan ketika negara-negara berkembang mencapai standar hidup modern dan kemiskinan materi berakhir.
3.
Proses pemisahan yang dijelaskan di atas menantang ide bahwa masyarakat pendahulu hidup lebih ringan di ladang dibanding masyarakat modern. Sejauh masyarakat lampau memiliki dampak yang lebih sedikit terhadap lingkungan, hal tersebut disebabkan masyarakat tersebut menyokong populasi yang jauh lebih sedikit.
Teknologi yang digunakan leluhur umat manusia untuk memenuhi kebutuhan menyokong standar kehidupan yang lebih rendah dengan dampak per kapita lebih tinggi terhadap lingkungan.
Faktanya, populasi awal manusia dengan teknologi terbatas memiliki jejak lahan individu yang lebih besar dibanding masyarakat masa kini. Pertimbangkan bahwa sebuah populasi tak lebih besar dari satu atau dua juta penduduk Amerika Utara berburu sebagian besar mamalia di benua tersebut hingga mengalami kepunahan di akhir Pleistosen, sementara pembakaran dan penggundulan hutan terjadi di seluruh benua itu bersamaan dengan proses tersebut. Transformasi manusia secara ekstensif terhadap lingkungan berlanjut sepanjang periode Holosen: sebanyak sepertiga deforestasi terjadi secara global sebelum Revolusi Industri.
Teknologi yang digunakan leluhur umat manusia untuk memenuhi kebutuhan menyokong standar kehidupan yang lebih rendah dengan dampak per kapita lebih tinggi terhadap lingkungan. Usaha skala besar apa pun untuk menyatukan masyarakat dengan alam menggunakan teknologi tersebut akan menghasilkan bencana manusia dan ekologis sejati.
Pelbagai ekosistem di seluruh penjuru dunia kini terancam karena manusia terlalu menggantukan diri pada mereka: masyarakat yang bergantung pada kayu bakar dan arang sebagai bahan bakar menebang dan mengurangi hutan; masyarakat yang memakan daging hewan liar berburu spesies mamalia hingga punah dalam skala lokal. Entah itu komunitas adat lokal atau korporasi asing yang diuntungkan, ketergantungan kontinyu manusia terhadap lingkungan alam adalah masalah bagi konservasi alam.
Sebaliknya, teknologi modern, jika menggunakan alur ekosistem alam yang lebih efisien, menawarkan kesempatan sesungguhnya untuk mengurangi totalitas dampak manusia terhadap biosfer. Merangkul teknologi ini berarti mencari jalan menuju Anthropocene yang baik.
Proses modernisasi yang sangat membebaskan manusia dari alam, tentu saja memiliki dua sisi, mengingat manusia juga merusak lingkungan alami. Bahan bakar fosil, mekanisasi dan manufaktur, pupuk sintetis dan pestisida, elektrifikasi dan transportasi modern dan teknologi komunikasi, telah membuat populasi manusia yang lebih besar dan lebih banyak konsumsi menjadi mungkin. Jika saja teknologi tak berkembang sejak abad pertengahan, tak diragukan lagi populasi manusia takkan berkembang sebanyak itu pula.
Juga benar bahwa meningkatnya populasi besar kaum urban yang makmur telah menempatkan permintaan yang lebih besar pada ekosistem di tempat terpisah ––ekstraksi sumber daya alam telah memasuki ruang lingkup dunia. Namun, teknologi yang sama juga memungkinkan manusia untuk menjamin adanya makanan, tempat berteduh, panas, cahaya, dan mobilitas melalui sarana yang lebih beragam dan lebih efisien atas lahan dibanding periode sebelumnya dalam sejarah manusia.
Memisahkan kesejahteraan manusia dari perusakan alam membutuhkan akselerasi penuh atas proses pemisahan yang muncul. Di beberapa kasus, tujuannya adalah pengembangan substitusi teknologi. Mengurangi deforestasi dan polusi udara di dalam ruangan membutuhkan substitusi kayu dan arang dengan energi modern.
Urbanisasi, intensifikasi agrikultur, kekuatan nuklir, aquakultur, dan desalinasi adalah segala proses dengan potensi untuk mengurangi ketergantungan manusia terhadap lingkungan, memberi jalan bagi terciptanya ruang untuk spesies nonmanusia.
Di kasus lainnya, tujuan umat manusia seharusnya untuk menggunakan sumber daya secara lebih produktif. Misalnya, meningkatkan hasil agrikultur dapay mengurangi konversi hutan dan padang rumput menjadi lahan pertanian. Manusia harus mencari celah untuk membebaskan lingkungan dari perekonomian.
Urbanisasi, intensifikasi agrikultur, kekuatan nuklir, aquakultur, dan desalinasi adalah segala proses dengan potensi untuk mengurangi ketergantungan manusia terhadap lingkungan, memberi jalan bagi terciptanya ruang untuk spesies nonmanusia. Suburbanisasi, pertanian dengan hasil sedikit, dan banyak bentuk produksi energi terbarukan, sebaliknya, secara umum membutuhkan lebih banyak lahan dan sumber daya serta meninggalkan ruang yang lebih sedikit bagi alam.
Pola ini menunjukkan bahwa manusia sangat mungkin menyisakan alam karena alam tak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mengingat mereka menyisakannya untuk alasan spiritual dan keindahan eksplisit. Bagian dari Bumi yang belum diubah sebagian besar dibiarkankarena tak memiliki nilai ekonomi bagi manusia— gunung, gurun, hutan boreal, dan lahan “marjinal” lainnya.
Pemisahan meningkatkan kemungkinan masyarakat mungkin meraih puncak dampak manusia tanpa ikut campur lebih dalam atas area yang relatif belum terjamah. Alam yang belum digunakan adalah alam yang tersisa.
4.
Akses berlimpah atas energi modern adalah syarat penting bagi perkembangan manusia dan untuk memisahkan perkembangan dengan alam. Ketersediaan energi yang terjangkau memungkinkan masyarakat miskin di seluruh dunia berhenti menggunakan hutan sebagai sumber bahan bakar. Hal tersebut memberi jalan bagi manusia untuk memanen pangan pada lahan yang lebih sedikit berkat masukan kaya energi seperti pupuk dan traktor. Energi memungkinkan manusia untuk mendaur ulang air limbah dan menerapkan desalinasi air laut, menyisakan sungai dan akuifer. Energi juga membuat manusia mampu secara murah mendaur ulang besi dan plastik dibanding menambang dan menyuling material tersebut. Menilik ke depan, energi modern memungkinkan untuk menangkap karbon dari atmosfer untuk mengurangi akumulasi karbon yang mendorong pemanasan global.
Akses berlimpah atas energi modern adalah syarat penting bagi perkembangan manusia dan untuk memisahkan perkembangan dengan alam.
Bagaimana pun, setidaknya untuk tiga abad yang lalu, meningkatkan produksi energi secara global telah dicocokkan dengan meningkatkan konsentrasi karbondioksida dalam atmosfer. Bangsa-bangsa secara lambat juga mulai mengurangi karbon —hal tersebut mengurangi intensitas karbon dalam perekonomian— dalam periode yang sama. Namun, mereka belum melakukannya dalam laju yang konsisten untuk menjaga emisi karbon kumulatif agar cukup rendah dan bertahan di bawah standa internasional, yakni kurang dari 2 derajat centigrade atas pemanasan global. Maka dari itu, mitigasi iklim signifikan membutuhkan manusia untuk secara cepat mengakselerasi proses yang pengurangan karbon yang tengah berjalan.
Namun, tersisa banyak kebingungan tentang bagaimana hal tersebut bisa dicapai. Di negara berkembang, naiknya konsumsi energi berkaitan erat dengan naiknya pendapatan dan perbaikan standar kehidupan. Meski penggunaan sumber daya material lain seperti nitrogen, kayu, dan lahan mulai memuncak, sentralitas energi dalam perkembangan manusia dan kegunaannya sebagai substitusi material dan sumber daya manusia menyiratkan bahwa konsumsi energi akan terus bertambah bahkan hingga sepanjang abad ke-21.
Untuk alasan tersebut, konflik apa pun antara mitigasi iklim dan meneruskan proses pengembangan yang dilalui bermiliar-miliar manusia di seluruh dunia yang tengah meraih standar hidup modern akan terus dipecahkan secara lantang demi kaum mendatang.
Perubahan iklim dan tantangan ekologi lainnya bukan merupakan perhatian mendesak mayoritas masyarakat dunia. Mereka tak harus menjadikannya mendesak. Sebuah pembangkit bertenaga batu bara baru di Bangladesh bisa saja menciptakan polusi udara dan menaikkan emisi karbondioksida tetapi juga menyelawatkan nyawa manusia. Bagi jutaan orang yang hidup tanpa cahaya dan terpaksa membakar kotoran untuk memasak makanan mereka, listrik dan bahan bakar modern, dari mana pun sumbernya, menawarkan jalan bagi kehidupan yang lebih baik, bahkan ketika menimbulkan tantangan baru bagi lingkungan.
Mitigasi iklim yang bermakna secara fundamental adalah tantangan teknologi. Dengan ini, kami bermaksud bahwa bahkan batas dramatis konsumsi global per kapita sekalipun takkan cukup untuk meraih mitigasi iklim yang signifikan. Ketiadaan teknologi berujung pada absennya jalur menuju mitigasi iklim yang bermakna. Meski banyak pihak memiliki pendapat berbeda mengenai percampuran teknologi, kami sadar bahwa tak ada satupun skenario mitigasi iklim yang tak melibatkan teknologi sebagai pemberangus emisi.
Teknologi spesifik yang dipilih manusia terhadap mitigasi iklim masih dipertandingkan. Skenario teoritis atas mitigasi iklim biasanya merefleksikan preferensi teknologi dan asumsi analitis si pembuat di mana semuanya seringkali gagal untuk menghitung biaya, tarif, dan skala yang memungkinkan penerapan teknologi dengan energi rendah karbon.
Transisi menuju dunia bertenaga energi nol karbon akan membutuhkan teknologi energi yang padat kekuatan dan mampu berskala hingga berpuluh-puluh terawatt untuk membangun kekuatan penyokong ekonomi manusia yang terus berkembang.
Namun, sejarah transisi energi menyiratkan bahwa ada pola konsisten yang telah berasosiasi dengan cara masyarakat bergeser menuju sumber energi yang lebih bersih. Mengganti bahan bakar berkualitas tinggi (misalnya, lebih sedikit karbon, lebih tinggi kepadatan) dengan yang berkualitas lebih rendah (misalnya, lebih banyak karbon, kepadatan lebih jarang) adalah cara nyata masyarakat dalam mengurangi karbon dan membidik arah menuju pengurangan karbon terakselerasi. Transisi menuju dunia bertenaga energi nol karbon akan membutuhkan teknologi energi yang padat kekuatan dan mampu berskala hingga berpuluh-puluh terawatt untuk membangun kekuatan penyokong ekonomi manusia yang terus berkembang.
Sebagian besar bentuk energi terbarukan, sayangnya, tak mampu berbuat demikian. Skala penggunaan lahan dan dampak lingkungan lain yang dibutuhkan untuk menjadikan bahan bakar nabati atau bahan bakar terbarukan lain sebagai tenaga dunia amat jelas hingga kami meragukannya sebagai penyedia jalan yang tepat bagi masa depan nol karbon dan rendah jejak.
Sel solar berefisiensi tinggi yang diproduksi dari material melimpah di Bumi adalah pengecualian dan memiliki potensi untuk menyediakan berpuluh-puluh terawatts hanya dalam prosentasi kecil dari permukaan Bumi. Teknologi surya masa kini akanmembutuhkan inovasi substantif untuk memenuhi standar ini dan pembangunan teknologi tempat penyimpanan energi murah yang mampu berhadapan dengan generasi energi bervariabel tinggi dalam skala besar.
Pemecahan nuklir mewakili teknologi nol karbon masa kini dengan kemampuan teruji untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan, jika tidak semuanya, atas perimntaan energi pada ekonomi modern. Bagaimana pun, beragam tantangan sosial, ekonomi, dan institusional membuat peluncuran teknologi nuklir masa kini dalam skala yang cukup untuk meraih mitigasi iklim signifikan membuatnya tak mungkin dilakukan. Generasi baru teknologi nuklir yang lebih aman dan lebih murah akan sangat penting bagi energi nuklir untuk memenuhi potensi besarnya sebagai teknologi mitigasi iklim genting.
Dalam jangka panjang, generasi surya selanjutnya, pemecahan nuklir lanjutan, dan fusi nuklir mewakili jalur paling masuk akal menuju tujuan stabilisasi iklim dan pemisahan radikal manusia dari alam. Jika sejarah transisi energi menjadi panduan, maka transisi membutuhkan banyak waktu. Selama transisi tersebut, energi lain bisa menyediakan manfaat sosial dan lingkungan. Bendungan hidroelektrik, misalnya, dapat menjadi sumber energi murah rendah karbon bagi bangsa-bangsa miskin meskipun jejak lahan dan air mereka masih relatif besar. Bahan bakar fosil dengan tangkapan dan simpanan karbon bisa juga menyediakan manfaat lingkungan substansial dibanding fosil saat ini atau energi biomassa.
Jalan etis dan pragmatis menuju ekonomi energi global yang adil dan berkelanjutan membutuhkan transisi umat manusia secepat mungkin menuju sumber energi yang murah, bersih, padat, dan melimpah.
Jalan etis dan pragmatis menuju ekonomi energi global yang adil dan berkelanjutan membutuhkan transisi umat manusia secepat mungkin menuju sumber energi yang murah, bersih, padat, dan melimpah. Jalan tersebut akan terus-menerus membutuhkan dukungan publik untuk pembangunan dan peluncuran teknologi energi bersih, baik di dalam dan di antara suatu bangsa, melalui kolaborasi dan kompetisi internasional, dan dalam kerangka kerja lebih luas bagi pembangunan dan modernisasi global.
5.
Kami menulis dokumen ini dengan cinta mendalam dan koneksi emosional dengan alam. Dengan mengapresiasi, menjelajahi, mencari untuk mengerti, dan mengolah alam, banyak orang keluar dari dirinya sendiri. Mereka terhubung dengan sejarah mendalam evolusioner. Bahkan saat orang-orang tak pernah mengalami alam liar secara langsung, mereka mengesahkan alam liar sebagai bagian penting untuk kesejahteraan psikologis dan spiritual mereka.
Kami menulis dokumen ini dengan cinta mendalam dan koneksi emosional dengan alam.
Secara materi, manusia akan selalu bergantung pada alam hingga derajat tertentu. Bahkan jika sebuah dunia sintetis tercipta, banyak dari kita mungkin saja masih memilih untuk tinggal lebih menyatu dengan alam dibanding yang dibutuhkan teknologi dan kesejahteraan manusia. Yang ditawarkan pemisahan adalah kemungkinan bahwa ketergantungan materi manusia terhadap alam bisa lebih tak merusak.
Perkara pemisahan yang lebih aktif, sadar, dan terakselerasi untuk memberi ruang bagi alam tergambar lebih kepada sisi spiritual dan estetika dibanding argumen materi atau kegunaan. Generasi masa kini dan masa depandapat bertahan dan makmur secara materi di atas planet dengan keanekaragaman hayati dan alam liar yang lebih sedikit. Namun, ini bukan dunia yang kita inginkan atau patut diterima jika manusia merangkul proses pemisahan.
Yang kami sebut alam, atau bahkan alam liar, meliputi lansekap, lautan, bioma, dan ekosistem, dalam banyak kasus telah diubah oleh pengaruh manusia selama berabad-abad dan beribu-ribu tahun. Ilmu konservasi, dan konsep keanekaragaman hayati, kompleksitas, dan keaslian, sangat berguna, namun, jika berdiri sendiri, tak bisa menentukan lansekap mana yang harus dijaga, atau bagaimana cara menjaga.
Di banyak kasus, tak ada satu pun garis dasar sebelum modifikasi manusia mengenai seperti apa alam bisa dikembalikan. Sebagai contoh, usaha untuk mengembalikan lansekap menjadi keadaan sebelumnya (indigeneity) bisa meliputi pemindahan spesies yang baru tiba (invasives) sehingga membutuhkan reduksi bersih atas keanekaragaman hayati lokal. Dalam situasi lainnya, komunitas dapat memutuskan untuk mengorbankan keaslian demi sesuatu yang baru dan keanekaragaman hayati.
Sejalan dengan memisahkan kebutuhan material manusia terhadap alam, membangun komitmen tahan lama untuk menjaga hutan belantara, keanekaragaman hayati, dan mozaik keindahan lansekap akan membutuhkan hubungan emosional lebih mendalam dengan mereka.
Tak bisa dihindari, usaha eksplisit untuk memelihara lansekap demi fungsi nonkegunaannya adalah pilihan antropogenik. Atas alasan ini, semua usaha konservarsi adalah antropogenik secara fundamental. Pengaturan selain alam liar adalah pilihan manusia, atas nama preferensi manusia, dibanding menghancurkannya. Manusia akan menyelamatkan wilayah dan lansekap liar dengan meyakinkan sesama bahwa tempat-tempat ini, dan makhluk yang mendiaminya, berharga untuk dijaga. Masyarakat bisa memilih beberapa layanan —seperti penjernihan air dan proteksi banjir— yang disediakan sistem alam, seperti batas air hutan, karang, rawa, dan lahan basah, meski jika sistem alami tersebut lebih mahal dibanding hanya dengan membangun instalasi pengolahan air, dinding laut, dan bendungan. Takkan ada satu solusi yang mampu mengakomodasi segalanya.
Lingkungan akan dibentuk preferensi lokal, historis dan kultural. Seraya kami percaya bahwa intensifikasi agrikultur untuk menyisakan lahan adalah kunci untuk menjaga alam liar, kami sadar bahwa banyak komunitas yang akan melanjutkan opsi pembagian lahan, mencari cara untuk memelihara alam liar dalam lansekap agrikultural, misalnya, dibanding membiarkannya kembali pada alam liar dalam bentuk padang rumput, semak belukar, dan hutan. Saat pemisahan mengurangi tekanan lansekap dan ekosistem untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar manusia, pemilik lahan, komunitas, dan pemerintah masih harus memutuskan apa tujuan ekonomi atau estetika yang mereka ingin dedikasikan bagi lahan tersebut.
Pemisahan terakselerasi saja tak akan cukup untuk memastikan lebih banyak alam liar. Masih dibutuhkan politik konservasi dan pergerakan hutan belantara agar menuntut lebih banyak alam liar untuk alasan estetika dan spiritual. Sejalan dengan memisahkan kebutuhan material manusia terhadap alam, membangun komitmen tahan lama untuk menjaga hutan belantara, keanekaragaman hayati, dan mozaik keindahan lansekap akan membutuhkan hubungan emosional lebih mendalam dengan mereka.
6.
Kami menegaskan kebutuhan dan kapasitas manusia untuk pemisahan terakselerasim aktif, dan sadar. Proses teknologi merupakan hal yang tak terhindarkan. Memisahkan dampak lingkungan dari hasil ekonomi tak sesimpel inovasi yang didorong pasar dan respon efisien terhadap kelangkaan. Busur panjang transformasi manusia atas lingkungan alam melalui teknologi telah dimulai jauh sebelum pasar atau sinyal harga dan semacamnya eksis. Berkat permintaan yang meningkat, kelangkaan, inspirasi, dan kebetulan, manusia telah membuat kembali dunia selama beribu-ribu tahun lamanya.
Solusi teknologi untuk masalah lingkungan harus dipertimbangkan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Kami menilai kontra produktif bagi negara seperti Jerman dan Jepang, dan negara bagian seperti California, untuk menutup pembangkit tenaga nuklir, memenuhi sektor energi dengan karbon, dan menyatukan ekonomi mereka dengan bahan bakar nabati dan biomassa. Bagaimana pun, contoh tersebut menggaris bawahi dengan jelas bahwa pilihan teknologi takkan ditentukan badan internasional, melainkan oleh institusi dan budaya lokal.
Seringkali, modernisasi dicampur adukkan, baik oleh pembela maupun pengkritik, dengan kapitalisme, kekuatan korporat, dan kebijakan ekonomi. Kami menolak reduksi semacam itu. Saat berbicara mengenai modernisasi, kami mengacu pada evolusi pengaturan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi dalam masyarakat terhadap cepatnya perbaikan kebutuhan materi, kesehatan publik, produktivitas sumber daya, integrasi ekonomi, infrastruktur, dan kebebasan personal.
Modernisasi telah membebaskan manusia dari hidup penuh kemiskinan dan sulitnya bertani, wanita dari status perbudakan, anak-anak dan etnis minoritas dari opresi, dan masyarakat dari pemerintahan yang sewenang-wenang. Meningkatnya produktivitas sumber daya, diasosiasikan dengan sistem sosial dan teknologi moderen, memungkinkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dengan sumber daya yang lebih sedikit serta dampak yang juga lebih sedikit terhadap lingkungan. Ekonomi yang lebih produktif adalah ekonomi yang lebih makmur, yang lebih mampu mempertemukan kebutuhan manusia selagi menjaga komitmen agar surplus ekonomi sejalan dengan non ekonomi, seperti kesehatan masyarakat yang lebih baik, kesempatan dan kebebasan umat manusia, kesenian, kebudayaan, dan konservasi alam yang lebih besar.
Pemisahan kesejahteraan manusia dari dampak lingkungan akan membutuhkan komitmen berkelanjutan terhadap kemajuan teknologi dan keberlangsungan evolusi sosial, ekonomi, dan institusi politik sejalan dengan proses pemisahan tersebut.
Proses modernisasi masih jauh dari usai, bahkan pada ekonomi maju dan berkembang. Konsumsi material baru mulai beranjak memuncak pada komunitas termakmur. Pemisahan kesejahteraan manusia dari dampak lingkungan akan membutuhkan komitmen berkelanjutan terhadap kemajuan teknologi dan keberlangsungan evolusi sosial, ekonomi, dan institusi politik sejalan dengan proses pemisahan tersebut.
Kemajuan teknologi terakselerasi akan membutuhkan partisipasi aktif, asertif, dan agresif dari wirausahawan swasta, pasar, masyarakat sipil, dan negara. Sambil menolak kekeliruan perencanaan pada era 1950-an, kami terus merangkul peran kuat publik dalam bertindak atas masalah lingkungan dan mendorong akselerasi inovasi teknologi, termasuk penelitian untuk mengembangkan teknologi yang lebih baik, teknologi pengganti, dan satuan lainnya untuk membawa mereka menuju pasar dan regulasi untuk memitigasi risiko lingkungan. Kolaborasi internasional atas inovasi dan transfer teknologi sangat penting pada area pertanian dan energi.
7.
Kami menawarkan pernyataan ini dengan kepercayaan bahwa kemakmuran manusia dan planet yang sehat secara ekologis tak hanya mungkin, tetapi juga tak bisa dipisahkan. Dengan berkomitmen pada proses sesungguhnya, yang kini telah dijalani dan mulai memisahkan kemaslahatan manusia dari penghancuran lingkungan, kami percaya bahwa masa depan itu bisa dicapai. Dengan demikian, kami mendekap pandangan optimistis terhadap kapasitas manusia dan masa depan.
Kami menghargai prinsip demokrasi, toleransi, dan pluralisme, hingga kami mendapuknya sebagai kunci untuk meraih Anthropocene yang hebat.
Harapan kami, dokumen ini mampu berkontribusi bagi perbaikan kualitas dan intensitas dialog tentang bagaimana menjaga lingkungan di abad ke-21. Seringkali, diskusi mengenai lingkungan didominasi pandangan ekstrem, diserang dogma, hingga memincu sikap intoleran. Kami menghargai prinsip demokrasi, toleransi, dan pluralisme, hingga kami mendapuknya sebagai kunci untuk meraih Anthropocene yang hebat. Kami berharap pernyataan ini melesatkan dialog tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai martabat manusia secara universal pada planet yang subur dan kaya akan keanekaragaman hayati.
Translation by Syarifah Nur Aida.